[Cerpen] Teriakan Untuk Bumi Palestina


Asap hitam menghiasi langit merahmu. Bangunan yang tinggi itu kini rata dengan tanah, tak berbentuk, hanya puing-puing belaka. Dentuman bom terdengar di seluruh sudut kota . Suara peluru membawa ketakutan manusia-manusia yang berada di ruang bawah tanah. Gelapnya malam memberi penyedap kegelisahan yang setiap detik menyerap dalam hati mereka. Tidak ada cahaya. Lampu ataupun lilin tidak ada. Bulan dan bintang pun tertutup oleh asap itu. Hanya suara itu yang menemani mereka. Suara yang setiap tiga menit sekali itu membelah kesunyian mereka, berharap suara itu tidak mendekat.
Teriakan siapakah itu?. Teriakan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Aku segera berlari ke arah itu. Teriakan seorang anak, anak laki-laki. Teriakannya begitu keras. Teriakan rasa takut yang sangat mendalam. Dia berjalan di jalan itu. Dia berjalan diantara bom-bom itu. Entah apa yang sedang dia lakukan.
“Menghindar nak. Jangan disitu. Apa yang sedang kamu lakukan nak?.”
Aku memanggil dengan keras. Tetapi dia tidak mendengar. Dia semakin menjerit ketika bom itu jatuh dibelakangnya. Dia merunduk dan menangis dengan keras, mencoba melawan suara bom-bom itu agar menjauh darinya.
Bukan hanya suara bom-bom itu sekarang yang terdengar. Suara peluru bertubi-tubi menggema di kota itu. Teriakan-teriakan itu, suara bom-bom itu dan sura peluru itu itu saling kejar mengejar, membuat kota itu semakin mencekam. Suara-suara itu menjadi kompetisi yang tidak berimbang di malam yang kelam ini.
Aku ingin memeluk anak itu. Melindunginya dari puing-puing yang berjatuhan itu. Tapi tak bisa, aku tak bisa menyentuhnya.
Aku menoleh ke sekelilingku, mencari, mungkin ada seseorang yang dapat menolong anak itu. Tapi kemana mereka..? Tidak ada orang disini. Hanya anak itu, anak yang ketakutan itu.




Teriakan disudut kota yang lain semakin keras, sangat keras. Sekarang teriakan seorang wanita. Seorang ibu setengah baya, sedang berjalan di jalan itu. Apa yang sedang dia lakukan di suasana seperti ini..?. Mengapa wanita itu begitu berani keluar di malam yang penuh dengan ancaman ini. Bukankah lebih baik tinggal di ruang bawah tanah saja..?.
Wanita itu meneriakan seorang nama. Air matanya berderai diiringi teriakan nama itu. Tersimpan rasa takut dan harapan di balik teriakan itu. Memanggil-manggil di sekeliling jalan itu.
“Nyonya apa yang sedang nyonya cari...? tanyaku keras
Nyonya itu tidak menjawab. Semakin mencari-cari, diiringi teriakan sebuah nama yang semakin lama semakin pelan.
“Nyonya apa disana anak nyonya…? seruku semakin keras
Aku menunjuk ke arah anak itu. Tapi Nyonya itu tidak melihat ku, bahkan tidak mendengar suaraku.
Dia kelihatan lelah. Kemudian tersujud menangis sambil meneriakan sebuah nama itu. Rupanya nama itu anaknya. Anaknya yang sedang dia cari, anak satu-satunya. Ayah dan kakak-kakaknya ternyata sudah mendahului mereka, berjihad mempertahankan tanah para Nabi ini dari perampas sialan itu.
“Nyonya apa di sana anak Nyonya..? aku semakin keras bertanya
“Ya…Nyonya, anak nyonya ada di sebelah sana , di belakang bangunan itu Nyonya. Jangan kedepan sana Nyonya. Anak nyonya ada di sana ”. Aku semakin yakin anak itu adalah putranya
Aku panik. Aku semakin keras mengarahkan wanita itu agar ke arah jalan itu. Tapi tetap wanta itu tidak mendengar ku. Dia tidak melihat ku.

Kemana anak itu…? Aku tidak mendengar teriakannya lagi. Aku segera berlari menuju anak itu. Dia terbaring. Aku mendekat, kaget. Tiga buah peluru bersarang di dadanya. Aku mendekapnya. Bukan tiga peluru tetapi lima , dua lagi di punggungnya.
“Terkutuk, terkutuk orang yang menembak anak kecil ini” aku berteriak sangat marah, sambil mencari-cari orang yang melakukan pembunuhan ini.
Darah merah mengucur deras dari tubuh kecilnya, memerahi tanah yang dulu dipertahannya dengan darah para syuhada. Air matanya masih tertahan di matanya yang kecil, tapi dia tidak berteriak. Tangannya mengepal lemas menahan rasa sakit yang sangat, tapi dia tidak berteriak. Inikah yang terbaik bagi mu nak..? tanpa teriakan dan ketakutan. Bukan nak, bukan, kamu harus mengusir penjajah sialan itu dari negeri para Nabi ini.

Hey….kemana Nyonya tadi..?. aku mencari di sekeliling tempat tadi. Aku berkeliling tempat itu, berharap Nyonya tadi dapat aku temukan, tapi tidak ada. Aku mencari lagi ke tempat yang lain, mungkin dia berada di jalan sana , tapi tetap tidak ada. Aku lelah. Aku duduk di sisa bangunan itu. Tapi tunggu, tangan siapa itu. Seonggok tangan terkubur puing-puing bangunan. Tubuhnya terkubur sisa reruntuhan itu. Hidungnya berdarah, tapi tidak berteriak. Wajahnya, hampir tidak aku kenal, terkena luka bakar, tapi tidak berteriak. Kakinya patah tertimpa bangunan, tapi tidak berteriak. Nyonya yang tadi mencari anaknya kini tergeletak lemas tertimpa bangunan. Inikah yang terbaik bagi mu Nyonya…? tidak berteriak dan mencari anak mu lagi…? Bukan Nyonya, bukan, Nyonya harus membesarkan para mujahid itu, Nyonya harus berjuang mengusir manusia-manusia biadab itu.

Teriakan apa lagi itu…? Lebih keras dari teriakan anak dan wanita tadi. Bukan hanya teriakan anak-anak ataupun wanita, tapi juga laki-laki. Aku berlari keatas, melihat sekeliling. Aku kaget. Mereka berlari berlindung dari bom-bom sialan itu.
Eehhh…siapa lagi itu…? Memakai baju loreng-loreng, memegang senjata. Tubuhnya begitu tegap. Jumlah mereka banyak. Tapi…! Mengapa mereka menembaki anak-anak, wanita dan laki-laki tadi…?
“heyyy….. mereka seharusnya kalian lindungi, mengapa kalian tembaki mereka…?” aku berteriak dengan keras ke arah tentara itu.
Mereka tidak mendengar teriakan aku. mereka malah semakin menjadi-jadi. Aku berlari, meminta bantuan ke tempat yang lain. Bukan di tempat itu saja rupanya. Di setiap sudut kota yang lain pun sama seperti ini. Aku panik. Apa yang harus aku lakukan…? Mereka semua di bom, di tembaki. Tak ada yang dapat aku perbuat. Aku semakin panik. Aku berpikir keras.
“ Ada , ada yang dapat aku perbuat. Bersabarlah, aku akan meminta bantuan kepada orang-orang di negeri sana . Bersabarlah”. Teriakku.
Aku berlari kencang, sangat kencang. Ku lewati samudra itu, gunung-gunung itu, laut itu, dan kota-kota itu. Hingga Aku lelah. Aku terdampar di tempat ini.
“Tempat apa ini..?” suaraku pelan
Wahai…..indah nian tempat ini. Aku berkeliling di tempat itu. Indah, sungguh indah. Malam di Negeri ini begitu terang dan tenang, sunyi tanpa suara bom dan peluru. Kotanya berkelip-kelip cahaya lampu. Gedungnya begitu tinggi menjulang, pohon-pohon yang rimbun menyebar, laut yang luas membentang dan sungai-sungai yang panjang bercabang.
Aku melihat sebuah bendara berkibar gagah di lapangan itu. Disanggah tiang yang berdiri kokoh menjulang. Warnanya begitu sederhana dan mempesona, dua warna, merah dan putih. Beruntung sekali aku terdampar di Negeri ini. Mungkin warna bendera itu mencerminkan orang-orang yang tinggal di Negeri ini, warna merah yang berani dan putih yang hatinya saci. Tapi dimanakah mereka..? Mereka tidur terlelap, sangat lelap. Biarlah dulu, biar ku tunggu. Mungkin besok mereka akan mengenaliku.

Siang di Negeri ini begitu berbeda dengan malamnya. Tadi malam yang begitu hening kini berubah menjadi bising. Jalan-jalan yang tadi malam sunyi kini berubah ramai, banyak orang berlalu-lalang. Harapan ku kepada orang-orang di Negeri ini semakin besar. Mungkin orang-orang itu dapat menolongku.
“yaaa….mereka dapat menolongku” gumamku
Aku coba menghampiri orang yang sedang bermain gitar itu. Dia malah menghindar. Ku dekati orang yang sedang mengatur lalu lintas itu, dia tersenyum. Aku menceritakan keadaan di bumi para nabi itu. Tapi dia diam, tidak menjawab. Ku sapa orang yang berada di mobil mewah itu. Ku ceritakan kembali keadaan di Negeri itu. Dia malah kabur. Aku terpental karena dorongan mobilnya yang kencang, tanpa pemberitahuan dia langsung jalan, aku terjatuh. Mungkin aku yang salah. Mungkin aku kurang sopan menyapanya, pikirku.
Aku kembali mencoba untuk meminta bantuan. Ku sapa orang yang sedang makan di restoran itu, dengan halus. Tapi, tetap, dia tidak menoleh. Aku pergi ke gedung-gedung yang tinggi itu, ku sapa orang-orang di dalamnya, tapi tetap mereka mengacuhkanku. Tapi aku tidak putus asa. Kembali, aku pergi ke pasar-pasar itu, ke mal-mal itu, ke pabrik-pabrik itu, ke rumah-rumah megah itu, ku hampiri mereka dan kusapa mereka, tapi tetap, bahkan mereka malah mengusirku. Hingga aku lelah. Aku cape meminta bantuan kepada orang-orang itu. Aku kecewa, sangat kecewa.
Aku sekarat di Negeri ini. Aku hampir mati di Negeri yang indah ini. Aku masuk kesebuah bangunan yang usang. Aku tergeletak disana. Aku lelah. Aku hampir tak dapat berdiri lagi. Aku teringat keadaan di bumi para nabi itu. Aku menangis.
Aku heran. Mengapa orang di Negeri ini mengacuhkanku. Mereka berpaling ketika aku datang. Mereka tidak mau menoleh ketika aku sapa. Mereka tidak mau mendengar suaraku. Yang lebih menyakitkan mereka mengusirku sebelum aku sapa mereka. Mengapa..?.

Orang-orang seperti apakah mereka…? Orang-orang sombong yang hidup di Negeri yang indah inikah mereka?. Siapakah mereka yang berani menolaku, yang tidak menerimaku sebagai tamu agung, yang mengusir dan mengacuhkanku…? Bukankah jika aku mati kalian pun akan binasa. Bukan jasad kalian yang binasa wahai manusia, tapi prilaku kalian.

Tapi aku belum putus asa. Aku tetap untuk mencoba berdiri. Ku coba menaiki gedung yang tinggi itu. Aku berteriak keras, sangat keras.
“Hai…manusia, tolonglah saudara-saudara kalian disana, di bumi para nabi itu. Negeri yang sekarang akan direbut oleh orang-orang biadab itu. Selamatkanlah saudara-saudara kalian itu hai manuasia. Mereka sekarang sedang dibantai oleh orang-orang terlaknat itu. Apakah kalian tidak tergugah melihat orang-orang sombong itu menghancurkan rumah-rumah mereka, manusia-manusia biadab yang memisahkan seorang anak dari ibunya, yang merebut ayah-ayah mereka, yang membuat wanita-wanita itu menangis ketakutan, yang membuat anak kecil itu berlubang karena peluru, yang melulu-lantakan kota-kota itu…? Mengapa kalian diam saja…? Apakah kalian orang-orang yang sombong..? “
“Mengapa kalian tidak mendengar suaraku..?” aku menangis
“Mengapa kalian mengacuhkanku…?
“Mengapa kalian mengusirku…?
Aku tersujud dalam tangisan. Aku tidak kuat lagi tuk berteriak. Hanya ada suara angin dan pedih ku. Aku merasa seperti terkubur bersama kendaga dalam palung samudra, tidak ada yang mendengar jeritanku. Aku merasa seperti terbakar dalam bara api, yang membakar tubuhku yang sekarat. Badanku terasa teriris pedang kehidupan yang tercabik-cabik dalam zaman yang kejam. Tanganku yang dulu menggengam kuat kini tergeletak lemah dipenuhi harapan.
Aku terperosok dalam jurang harapan, gelap dan dalam. Berharap kepada manusia di Negeri yang indah ini. Aku tertipu oleh warna bendera itu. Aku tertipu oleh indahnya Negeri ini. Aku marah. Aku melaknat orang-orang di Negeri ini yang tidak mau mendengar suaraku, yang mengacuhkanku, yang menolaku dan mereka yang mengusirku.
Lama aku menangis, sangat lama.

“Tuan…?”
Seorang pemuda memecah tangisanku. Tubuhnya kurus, kulitnya hitam, tidak terlalu hitam, matanya merah sendu, pakaiannya basah, oleh keringat rupanya, nafasnya kencang habis berlari jauh, wajahnya pucat, dia terlihat pani. Dia mendekat
“ Ada apa Tuan…? Mengapa teriakanmu begitu pilu..? suaramu terdengar sangat sedih. Tangisanmu memanggilku datang kesini. Apakah masalah Tuan…?” bertanya dengan heran
“Fulan…? Kamu dapat mendengar suaraku”
“Iyaa…Tuan, teriakan Tuan tadi begitu jelas di telingaku. Aku menoleh ke atas aku, kira aku sangat mengenal Tuan. Siapakah Tuan ini…?”
“Sudah sepantasanya kamu mengenalku Fulan. Bukankah aku tinggal dengan kamu, sekarangpun masih. Aku tinggal bersama kalian, bersama manusia-manusia di bawah sana ”
“Tinggal bersamaku….? Dimana…? Rumahku kecil Tuan, aku tinggal hanya bersama ibu dan adiku. Belum pernah aku melihat Tuan di rumahku”
“Aku tidak tinggal di rumahmu Fulan. Aku tinggal di dalam dirimu. Bukankah di dalam dadamu terdapat segumpal darah…?
“Maksud Tuan…?” dia bertanya semakin heran
Aku tidak menjawab.
“Lalu mengapa tuan menangis begitu pilu…?
Aku menangis, air mataku tak terbendung lagi. Aku ingat akan orang-orang yang di Negeri ini yang tidak mendengar suaraku.
“Maaf Tuan jika aku lancang. Mungkin aku dapat menolong Tuan…? Apa sebenarnya masalah Tuan…?” pemuda itu memaksa
“Terdengarkah ke telingamu Fulan keadaan orang-orang di bumi para Nabi itu….?”
“Iyaa Tuan. Tentu saja kami tahu. Semua media massa memberitakannya kepada kami, di Televisi, di koran-koran, di majalah, di internet bahkan samapai di radio semua menyiarkannya”
“Aku membawa pesan dari Negeri itu Fulan. Aku membawa teriakan dari anak-anak dan wanita itu. Aku membawa kepediahan dari orang-orang itu, kepedihan karena kehilangan keluarga dan rumah-rumah mereka. Tapi tahukah kau Fulan…? Orang-orang di Negeri ini yang membuat aku sedih. Aku menceritakan keadaan mereka kepada Negerimu tapi mereka diam, bahkan mereka berani mengusirku, Fulan”
“Katakan kepada mereka Fulan, beritahukan kepada manusia-manusia di bawah sana , kabarkan kepada Negerimu ini, jika mereka berani mengacuhkanku lagi mereka akan hidup dalam kehinaan. Mereka akan lebih hina dari binatang-binatang itu. Jika Negerimu mengusirku lagi Negerimu akan binasa kareana sesama kalian. Negerimu akan hancur dipenuhi manusia-manusia bejat”
“Orang-orang di Negeri para Nabi itu sudah bosan Fulan. Mereka bosan dengan suara-suara bom-bom sialan itu. Mereka bosan dengan suara peluru terkutuk itu. Mereka bosan dengan rasa takut itu. Mereka menginginkan kedamaian, Fulan. Bantulah mereka walau hanya dengan sebuah doa. Janganlah kalian diam seolah tidak mendengar kabar itu”
“Maafkan saudara-saudaraku di Negeri ini, Tuan. Tapi masih ada orang yang akan mendengarkan Tuan. Masih ada orang yang akan menerima Tuan. Masih ada orang yang akan mendengar suara tuan di Negeri ini, percayalah kepadaku, Tuan”
“Siapa…? Siapa….? Siapa Fulan…? Bukankah sudah aku katakan, mereka mengusirku, mereka menolaku. Tidak ada manusia di Negeri ini yang mendengarku”
“Aku…..! bukankah aku sekarang bersamamu, mendengar suaramu, mendengar tangisanmu dan teriakanmu sangat jelas bagiku, Tuan.”
Aku tertegun, lama. Siapakah pemuda ini…? Pemuda yang dapat mendengar suaraku, bukan hanya suaraku tapi dia dapat berbicara dengan ku. Harapan ku kepada Negeri ini hidup kembali.
“Terimakasih, Fulan. Kamu sudah mau mendengar pesanku ini. Aku sekarang dapat kembali dengan tenang ke Bumi para Nabi itu. Sampaikanlah pesanku ini kepada orang-orang di Negerimu ini, Fulan. Orang-orang disana sangat membutuhkan bantuan kalian, walau hanya dengan doa. Walau hanya dengan sebuah doa, Fulan”.
“Aku sudah terlalu lama disini Fulan. Aku akan kembali ke Negeri itu. Akan kusampaikan berita ini kepada mereka. Akan ku sampaikan bahwa masih ada yang peduli kepada mereka, di Negeri yang Indah ini”


fais.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar